Permanently Inalieanability terhadap Hak Ulayat di Indonesia, Aborigin Title di Kanada, dan Native Title di Australia
Prinsip permanently inalienability merupakan sebuah prinsip yang melekat dan terdapat pada hak ulayat dalam masyarakat hukum adat, yang mana prinsip ini menjelaskan bahwasanya hak ulayat merupakan suatu yang hak yang sifatnya tidak dapat dirampas, dicabut, serta dialihkan secara sewenang-wenang sebab hak ulayat dianggap hidup dan telah melekat di dalam masyarakat hukum adat itu sendiri. Prinsip ini menjadikan hak ulayat sebagai sebuah hak yang keberadaannya sepatutnya diakui oleh negara. Prinsip permanently inalienability ini merupakan sebuah jaminan guna pencapaian dalam pemenuhan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat terkait dengan kepemilikan serta pengelolaan tanah dan sumberdaya alam demi kelangsungan hidup masyarakat hukum adat kedepannya.
Sebagai prinsip umum, di bawah hak ulayat, masyarakat hukum adat memiliki wewenang untuk mengelola dan mengendalikan penggunaan dan kepemilikan tanah, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, anggota komunitas hukum adat berhak untuk menggunakan, mengolah, dan memperoleh manfaat dari tanah untuk diri mereka sendiri dan keluarga mereka; tetapi tidak untuk tujuan perdagangan atau pengayaan individu. Komunitas hukum adat memiliki wewenang untuk membuat perencanaan penggunaan lahan, seperti mengalokasikan lahan untuk kebutuhan komunal tertentu, seperti daerah penggembalaan, kuburan dan tempat ibadah. Secara eksternal, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengecualikan non-anggota dari menggunakan tanah ulayat. Dalam keadaan tertentu, non-anggota akan diizinkan untuk menggunakan tanah tetapi izin harus diberikan oleh masyarakat dan biaya pengakuan dibayar (Haverfield, 2001, hal.45). [1]
Berdasarkan referensi hukum adat, dapat dinyatakan di sini bahwa hak ulayat adalah hak milik sui generis. Aspek sui gereris hak ulayat ini adalah: (1) hak ulayat adalah hak komunal, yaitu hak yang dimiliki bersama oleh komunitas hukum adat sebagai entitas; (2) Dimiliki oleh komunitas hukum adat, hak ulayat diberikan kepada komunitas publik (seperti pemerintah) yang berwenang untuk mengatur dan mengendalikan penggunaan tanah ulayat; (3) Tanah Ulayat tidak dapat dicabut secara permanen.[2]
Pengaturan Permanently Inalieability Hak Ulayat Di Indonesia
Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadaannya dijamin dalam UUD 1945. Penegasan lebih lanjut tentang hal itu antara lain diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Internasional Covenant on Economic,Social and Cultural Rights (Kovenan International tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Tidaklah berlebihan jika dinyatakan bahwa ”tanah” adalah salah satu sumber daya yang menjadi kebutuhan dan kepentingan semua orang, badan hukum dan atau sektor-sektor pembangunan. Mengapa penting karena tanah sangat dibutuhkan utnuk melaksanakan aktivitas karena itu tanah perlu diatur melalui kebijakan dan peraturan perundangan yang tepat, konsisten dan berkeadilan. Seusai dengan sifatnya yang multidimensi dan sarat dengan persoalan keadilan, permasalahan tentang dan sekitar tanah seakan tidak pernah surut. Satu permasalahan belum terselesaikan, telah muncul permasalahan lain atau mungkin juga permasalahan yang sama muncul kembali di saat yang lain karena belum diperoleh cara yang tepat untuk mengatasinya.[3]
Di dalam UU Pokok Agraria, rumusan Hak Ulayat secara tegas dapat dilihat di dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa dengan mengingat ketentuan dari Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak-hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Meskipun pengaturan hak ulayat hanya dalam satu Pasal di dalam UUPA tetapi merupakan suatu gagasan yang sangat cemerlang dari tim perumus UUPA, hal ini disebabkan karena hak ulayat masyarakat hukum adat diakui di dalam ketentuan pokok-pokok yang mengatur agraria di Indonesia. Konsep hak yang berupa ulayat dari masyarakat hukum adat di Indoneisia tidak ditemui dalam konsep Hukum Barat, karena konsep Hukum Barat dilandaskan kepada individual, persoon dan kelompok atau lembaga yang dibentuk hukum dan yang dibentuk berdasarkan perbuatan hukum yang dikehendaki. Keberanian dari tim pembentuk Undang-Undang Agraria menghendaki adanya tindak lanjut dalam penerapannya berupa peraturan pelaksana Agraria baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah dan lainnya sesuai dengan konstruksi dan hierarki perundang-undangan di Indonesia.[4]
Di dalam UUPA menyangkut tanah ulayat dan hak ulayat tidak dipisahkan dengan tegas. Hak Ulayat dijumpai dalam Pasal 3 UUPA tersebut yang merumuskan dengan menggabungkan rumusan-rumusan yang telah dihasilkan oleh tim pembentuk UUPA sejak rumusan awal tahun 1948 sampai pengkajian mendalam dalam sidang DPRGR yang menyebutkan bahwa dengan mengingat ketentuan dari Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak-hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi.[5]
Selanjutnya dilihat dari ketentuan penjelasan UUPA di dalam angka II tentang Dasar-Dasar dari Hukum Agraria Nasional butir (3) disebutkan bahwa bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam Pasal 1 dan 2, maka di dalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum. Hak Ulayat yang dimaksud disini yakni akan mendudukan hak itu pada tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini.[6]
Pengakuan lebih lanjut Hak Ulayat ditetapkan juga dalam konstitusi Negara Indonesia yaitu dalam Pasal 18 B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur di dalam undang-undang, dan selanjutnya dalam Pasal 28 ayat (3) UUD 1945 bahwa Hukum Ransendental Pengembangan dan Penegakan Hukum di Indonesia | 363 identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradapan. Dan pada perubahan keempat UUD 1945 ditetapkan juga di Pasal 32 ayat (1) bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.[7]
Seyogyanya hak-hak masyarakat hukum adat diakui sebagaimana dilihat dalam Pasal 56 UUPA bahwa hak masyarakat hukum adat akan diatur dalam Undang-Undang yang hingga sekarang belum terlaksana. Karena belum ada undang-undang yang mengatur tentang hak milik pelaksanaan hak-hak adat mengalami kendala, dapat terjadi pelecehan terhadap masyarakat hukum adat. Keadaan-keadaan tersebut menunjukkan tidak adanya kemauan politik dari pemerintah untuk mengakui hak masyarakat hukum adat. Membiarkan hak ulayat dengan asumsi tergantung pada zaman. Karena itu dapat disimpulkan, bahwa dalam perundang-undangan keberadaan hak ulayat masih lemah. Disamping itu, dalam rangka membangun sistem hukum tanah nasional, selain pengaturan kedudukan hak ulayat, maka perlu diatur pengertian hak ulayat, subyeknya, objeknya, ciri-ciri, batas-batas, serta hak dan kewajiban yang melekat dalam hak ulayat itu.
Pengaturan Permanently Inalieability Terhadap Aborigin Title Di Kanada
Aboriginal title adalah hak yang melekat, yang diakui dalam hukum umum, yang berasal dari pendudukan, penggunaan dan kontrol masyarakat adat atas tanah leluhur sebelum penjajahan. Hak Aborigin bukan hak yang diberikan oleh pemerintah; melainkan, merupakan hak kepemilikan yang pertama kali diakui oleh Crown dalam Proklamasi Kerajaan tahun 1763. Crown tersebut kemudian diakui dan ditentukan oleh beberapa keputusan Mahkamah Agung Kanada. Selanjutnya, ayat 35 (1) Undang-Undang Dasar, 1982 mengakui dan menegaskan “pengakuan hak Aboriginal dan perjanjian.” Namun, kedaulatan Kanada atas tanah tidak tergantung pada perjanjian dengan Bangsa-Bangsa Pertama terkait dengan Aboriginal title, dan merekonsiliasi hukum Kanada. Pemahaman tentang Aboriginal title dengan pemahaman Penduduk Asli masih merupakan tantangan besar. [8]
Selama berabad-abad sebelum kedatangan orang Eropa, masyarakat adat tinggal dan mengelola tanah yang kemudian disebut dengan Kanada. Pekerjaan, penggunaan dan yurisdiksi mereka atas tanah-tanah ini dikenal dengan sebutan Aborigin. Ini adalah hak milik komunal milik masyarakat adat dan tidak dipegang oleh individu tertentu dalam kelompok itu. Kasus-kasus di Mahkamah Agung seperti Calder (1973), Delgamuukw (1997) dan Tsilhqot’in (2014) telah mengklarifikasi pertanyaan tentang Aboriginal title dan menetapkan batasan tertentu atasnya. [9]
Di dalam hukum Kanada, Aboriginal title adalah sui generis (artinya memiliki jenis atau kekhususannya tersendiri), dalam hal hak atas tanah berasal dari pendudukan kelompok leluhur atas tanah leluhurnya sebelum penegasan kedaulatan Eropa. Dengan demikian, ini berbeda dari bentuk lain dari hak kepemilikan karena merupakan hak komunal milik masyarakat hukum adat tertentu. Dalam hal itu, hak Aborigin tidak boleh dijual atau dibeli oleh perorangan; mungkin hanya secara sukarela diserahkan kepada Crown oleh komunitas Pribumi melalui perjanjian. Ini mencakup sumber daya pada permukaan dan bawah permukaan, seperti hak mineral dan pengembangan minyak dan gas. [10]
Agar masyarakat adat memiliki Aboriginal title untuk suatu wilayah tanah tertentu , Mahkamah Agung memutuskan dalam kasus Delgamuukw (1997) bahwa ia harus menunjukkan: pendudukan tanah yang dipertanyakan sebelum kedaulatan, kesinambungan antara keadaan saat ini dan sebelum pendudukan kedaulatan (jika pendudukan saat ini diajukan sebagai bukti pra-kedaulatan pendudukan), dan pendudukan eksklusif. Mahkamah Agung juga memutuskan bahwa: “Aboriginal title adalah … lebih dari hak untuk terlibat dalam kegiatan tertentu yang mungkin merupakan Aboriginal title.” Dengan kata lain, Aboriginal title tidak hanya berkaitan dengan penggunaan tanah dalam kegiatan tradisional; alih-alih, hak memberi masyarakat adat hak untuk menggunakan tanah dengan cara-cara modern, kecuali dalam kasus di mana penggunaannya “tidak dapat didamaikan dengan sifat keterikatan pada tanah yang membentuk dasar dari Aboriginal title kelompok tertentu.”
Dalam kasus Tsilhqot’in (2014), Mahkamah Agung Kanada mengakui bahwa orang-orang Tsilhqot memegang Aboriginal title pada 1.750 km2 wilayah tradisional. Dalam keputusan tersebut, pengadilan mengklarifikasi bahwa pekerjaan Penduduk Asli tidak harus intensif, seperti dalam pendirian desa atau pertanian, tetapi mungkin terikat dalam praktik-praktik Masyarakat Adat historis lainnya, seperti migrasi musiman atau pengelolaan berburu, memancing atau hak perdagangan. Dengan cara ini, Aboriginal title komunitas masyarakat adat dapat berlaku untuk wilayah yang luas.
Pengaturan Permanently Inalieability Terhadap Native Title Di Australia
Native Title adalah pengakuan bahwa penduduk Aborigin dan Kepulauan Selat Torres untuk memiliki hak dan kepentingan atas tanah dan perairan sesuai dengan hukum dan kebiasaan tradisional mereka sebagaimana diatur dalam Hukum Australia. Native Title diatur oleh Native Title Act 1993 (Cth). [11]
Native Title diperkenalkan ke dalam hukum sebagai hasil dari keputusan Mabo, di mana Pengadilan Tinggi memutuskan Australia bukanlah Terra Nullius (Tanah yang tidak dimiliki siapapun) pada saat masa penjajahan Eropa. Keputusan ini mengakui Penduduk Asli dan Penduduk Selat Torres sebagai orang pertama Australia dan bahwa hak dan kepentingan mereka di daratan dan perairan tetap ada meskipun ada penyelesaian. Native Title dapat mencakup hak dan kepentingan untuk:
a. Menempati daerah itu dan membangun tempat berlindung atau bangunan;
b. Mengakses area untuk tujuan tradisional, seperti berkemah atau untuk upacara;
c. Mengunjungi dan melindungi tempat-tempat penting dan situs perburuan, mengumpulkan makanan atau sumber daya tradisional seperti obat-obatan, air, dan kayu;
d. Mengajarkan hukum, kebiasaan dan terlibat dalam kegiatan budaya.[12]
Native title dapat berdampingan dengan hak kepemilikan non-pribumi seperti stasiun pastoral dan ini dikenal sebagai native title non-esklusif atau native title di seluruh wilayah di mana ada kepentingan bersama dengan pihak lain. Penguasaan ekslusif native title mencakup hak untuk menguasai dan menempati suatu wilayah dengan mengesampingkan semua hal yang lain. Penguasaan ekslusif native title hanya dapat diberikan wilayah tertentu seperti tanah Crown yang tidak terisi atau sebelumnya dikuasai atau dimiliki oleh orang Aborigin. [13]
Proses Native Title, Native Title mengharuskan orang Aborigin untuk membuktikan bahwa mereka memiliki koneksi terus-menerus dan tidak terputus dengan negara mereka sejak penjajahan, yang mana terjadi di Australia Barat tahun 1829. Jika kelompok Aborigin meyakini bahwa ia mengklaim memiliki hak kepemilikan asli atas suatu wilayah, ia perlu mengajukan permohonan untuk penentuan native title ke Pengadilan Federal, yang bertanggung jawab untuk mengelola semua aspek native title. [14]
_______________________
[1]Rafael Edy Bosko, 2014, Reconsidering the Inalienability of Communal Ulayat Rights: Theoretical Overview, The 9th ALIN Expert Forum Land Rights Law in Asian Countries.
[2]Ibid.
[3]https://media.neliti.com/media/publications/43187-ID-pengakuan-hukum-terhadap-hak-ulayat-masyarakat-hukum-adat-dan-hambatan-implement.pdf
[4]https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/9710/28.%20Gamal%20Abdul%20Nasir.pdf?sequence=1&isAllowed=y
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]https://www.thecanadianencyclopedia.ca/en/article/aboriginal-title
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]https://www.klc.org.au/what-is-native-title
[12]Ibid.
[13]Ibid.
[14]Ibid.